I Became a Law School Genius - Chapter 4

Posted by 노칼, Released on March 11, 2025

Chapter 4

“Harga totalnya 339.800 won.”

Aku menerima kantong berat berisi buku dari kasir.

Alasan aku datang ke toko buku pagi-pagi sekali cukup sederhana.

Di studio apartemen milik Park Yoo-seung, hanya ada satu buku hukum: Mengurai Simpulan Hukum Perdata.

Tak bisa disangkal bahwa buku panduan belajar memang efisien.

Namun, untuk benar-benar memahami dan menerapkan prinsip hukum dengan baik, aku butuh lebih dari sekadar

panduan. Aku perlu beberapa buku dasar sebagai referensi tambahan agar bisa mengisi celah pemahamanku setiap

kali menemui kebuntuan.

  • Prinsip Hukum Perdata – Ji Yeon-rim

  • Ringkasan Hukum Pidana

  • Hukum Pidana: Bagian Umum – Kim Seon-don

  • Hukum Pidana: Bagian Khusus – Kim Seon-don

Melihat deretan judul yang mengingatkanku pada desa ujian Sillim-dong, aku tersenyum puas.

Setelah menjalani ujian pertama, aku menyadari betapa banyak yang belum kupahami.

Aku sempat panik dan mencoba menghafal materi dari buku panduan, tapi jelas mustahil mengulang seluruh hukum perdata hanya dalam beberapa jam.

Pada akhirnya, aku terpaksa melewatkan semua soal pilihan ganda.

Sebagai gantinya, aku fokus pada soal esai, di mana aku diizinkan menggunakan buku hukum.

Dengan begitu, aku bisa membuka pasal-pasal yang diperlukan dan berusaha mengingat konsep yang relevan sambil menjawab pertanyaan.

Tapi tetap saja, sebagian besar jawabanku terasa samar karena aku tak bisa mengingat dengan jelas rumusan putusan pengadilan atau teori akademis yang sesuai...

Untungnya, pertanyaan terakhir adalah jebakan yang sudah sering kutemui saat mempersiapkan ujian di kehidupan sebelumnya. Aku bisa menuliskan jawabannya secara refleks.

Malam sebelumnya, setelah kembali ke apartemen Park Yoo-seung, aku menghabiskan waktu membandingkan soal ujian yang kubawa dengan isi Mengurai Simpulan Hukum Perdata, mengisi celah dalam ingatanku sepanjang malam.

Aku juga membuat daftar buku yang kubutuhkan untuk belajar.

Aku tak punya urusan lain. Tak ada orang yang perlu kutemui.

Park Yoo-seung sudah dikenal di Universitas Hankuk sebagai mahasiswa yang tak punya harapan sejak masa sarjana.

Ia sering masuk kelas dalam keadaan mabuk, menunjuk-nunjuk dosen, atau mencoba menggoda mahasiswa baru hingga berakhir dengan berkelahi dengan pacarnya dan ditahan.

Reputasinya begitu buruk hingga nyaris tak ada mahasiswa Universitas Hankuk yang tak pernah mendengar kisah tentangnya.

Jadi, tak ada orang waras yang mau berurusan dengan Park Yoo-seung.

Dan aku pun tak ingin berurusan dengan ‘teman-teman’ dari seseorang yang tak punya akal sehat.

Singkatnya, saat ini aku tak ubahnya seperti sebuah pulau terpencil yang tak akan didekati siapa pun.

“Yah, setidaknya sekarang aku bisa membeli buku tanpa harus khawatir soal uang.”

Di kehidupanku yang lalu, jumlah ini jelas terasa sangat besar, sesuatu yang bahkan tak berani kubayangkan untuk

dihabiskan. Tapi dibandingkan dengan uang yang menumpuk di rekening Park Yoo-seung, jumlah ini tak lebih dari sebutir debu.

Aku melangkah keluar dari toko buku dengan senyum puas, erat memeluk kantong berisi buku.

Hari kedua program pre-law akan segera dimulai.

Aku harus bergegas.


[Ruang Kuliah Kelas A, Program Pre-Law]

Mulai hari kedua, program ini dibagi menjadi tiga kelas, masing-masing berisi 50 siswa.

Tentu saja, hal ini tak terhindarkan. Tak mungkin memadatkan 150 orang ke dalam satu ruang kuliah.

Park Yoo-seung ditempatkan di Kelas A.

Kelas yang sama dengan Shin Seo-joon, Han Seol, Jeong Min-sik, dan tokoh utama lainnya dalam cerita aslinya.

Klik.

Aku membuka pintu ruang kuliah dan masuk.

Mata para mahasiswa yang sudah tiba lebih dulu sekilas tertuju padaku, lalu dengan cepat beralih seolah baru saja melihat sesuatu yang menjijikkan.

Beberapa mulai berbisik begitu melihat wajahku.

Aku hanya bisa tersenyum kecut dalam atmosfer yang begitu dingin.

Di antara mahasiswa baru Sekolah Hukum Universitas Hankuk tahun ini, hampir 100 di antaranya adalah lulusan program sarjana universitas ini.

Itu berarti ada setidaknya seratus orang yang pernah mendengar betapa buruknya reputasi Park Yoo-seung, langsung ataupun tidak langsung.

Bahkan mahasiswa dari universitas lain pun pasti pernah bersinggungan dengan mahasiswa Universitas Hankuk melalui

akademi hukum atau komunitas hukum gabungan.

Satu hari sudah lebih dari cukup bagi mahasiswa Universitas Hankuk yang melihat ‘sampah terbesar kampusnya’ di

aula besar saat upacara pembukaan untuk segera memperingatkan teman-teman mereka dari universitas lain.

Tentu saja, aku tak perlu ambil pusing soal itu.

Aku bukanlah Park Yoo-seung. Tapi aku juga tak bisa—dan tak seharusnya—membuktikan hal itu.

Lagipula, belajar adalah pertempuran yang harus kujalani sendirian.

Tatapan dingin mereka tak lebih penting daripada kesempatan langka ini—kesempatan untuk kembali belajar hukum.

Aku memeriksa denah tempat duduk yang ditempel di depan ruang kuliah dan mulai berjalan menuju kursiku.

Tiga orang yang duduk di sekitarku dalam denah itu adalah rekan kelompokku selama program pre-law berlangsung.

Dan tentu saja, jika semuanya berjalan sesuai cerita asli, aku sudah tahu siapa saja mereka.

“…Apa?”

Duduk di sebelah kursi dengan nomor mahasiswa milikku adalah Han Seol.

“Kenapa kau di sini?”

Ekspresi Han Seol langsung mengernyit.

“Karena ini tempat dudukku.”

“Kau… di sini?”

Seolah tak percaya, Han Seol menghitung jumlah kursi dengan jarinya. Tapi tidak peduli seberapa keras dia mencoba menolaknya, fakta bahwa kami berada dalam kelompok yang sama tetap tak bisa diubah.

“Tidak, ini pasti lelucon…”

Han Seol dan Park Yoo-seung berasal dari Departemen Administrasi Bisnis yang sama.

Jadi, tak perlu diragukan lagi—dia tahu lebih baik daripada siapa pun bahwa reputasi buruk Park Yoo-seung bukanlah sekadar rumor.

Bagi Han Seol, tak masuk akal bagaimana seseorang seperti dia bisa lulus dari universitas yang sama dan diterima di

sekolah hukum.

Dia pun memegang kepalanya, seolah sedang menghadapi mimpi buruk, sebelum akhirnya mendongak dengan

tatapan penuh tekad.

“Park Yoo-seung.”

“Apa?”

“Aku tak akan memaksamu untuk bekerja keras. Aku bahkan tak berharap banyak. Aku hanya… Aku akan mengurus semuanya sendiri, jadi tolong, jangan membuat masalah. Aku mohon.”

Ekspresinya begitu putus asa.

Dalam cerita aslinya, Han Seol sangat berambisi untuk menjadi peringkat pertama dalam program pre-law ini.

Sejak kecil, dia selalu menjadi yang terbaik. Kekalahannya dari Shin Seo-joon di ujian masuk sekolah hukum adalah yang pertama dalam hidupnya.

Demi membalas kekalahan itu, dia harus mendapat nilai terbaik di ujian dan evaluasi kelompok.

Namun dalam cerita aslinya, Park Yoo-seung merasa terhina dengan permintaan Han Seol dan akhirnya membuat keributan.

Dan saat itulah, Shin Seo-joon masuk dan menertibkan situasi, sekaligus ‘menyelamatkan’ Han Seol.

Itulah awal mula hubungan mereka berubah dari sekadar persaingan satu arah.

Tapi… aku bukanlah Park Yoo-seung yang asli.

“Aku mengerti.”

“…Apa?”

Han Seol menatapku dengan bingung.

“Aku sudah memutuskan untuk berubah. Aku janji tak akan menghambatmu.”

Dia jelas tak mempercayaiku.

Tapi itu bukan urusanku.

Percaya atau tidak, itu urusan mereka.