Deep Sea Embers - Kabut Tebal Hari Itu

Posted by Yuan Tong, Released on March 10, 2025

Kabut Tebal Hari Itu

Hari itu, kabut tebal menyelimuti dunia di luar jendela apartemen, pekat dan muram, seolah memiliki kesadaran sendiri yang terperangkap dalam keputusasaan abadi. Kabut itu melahap segalanya, menyisakan hanya secercah cahaya pucat yang berjuang menembus cengkeraman dinginnya—cahaya suram yang membungkus ruangan dalam senja yang tak wajar. Ruangan itu seperti terbelah: separuhnya nyaris tak terlihat di bawah pancaran redup yang menyeramkan, sementara separuh lainnya tenggelam dalam bayang-bayang kelam yang menyesakkan.

Di dalam apartemen yang suram dan menyesakkan itu, Zhou Ming duduk di tengah kekacauan. Dengan gerakan terburu-buru—nyaris panik—ia menyapu bersih barang-barang yang berserakan di mejanya, hanya untuk berkonsentrasi pada satu hal: menulis. Wajahnya penuh garis-garis kelelahan, mencerminkan jiwa yang nyaris habis digerus waktu. Dengan suara serak dan lelah, ia bergumam:

"Hari ketujuh. Kabut menyesakkan dunia di luar sana, mengubah jendelaku menjadi mata yang buta, tertutup oleh kekuatan jahat yang tak terlihat. Aku terjebak di sini, seperti kapal sendirian yang terombang-ambing di lautan kabut dan kegelapan…"

"Aku terputus dari dunia luar—tanpa komunikasi, air, atau listrik. Tapi anehnya, lampu masih berkedip, dan komputer tetap menyala, seolah digerakkan oleh energi gaib…"

Sebuah bisikan—begitu halus hingga nyaris tak lebih dari hembusan napas angin—muncul dari dekat jendela. Zhou Ming menegakkan tubuhnya, secercah harapan berkedip di matanya yang letih. Namun, harapan itu seketika padam, lenyap dalam sekejap saat ia menyadari bahwa itu hanyalah ilusi—tipuan yang diciptakan oleh pikirannya yang hampir putus asa. Dunia di luar kaca tetap kosong dan membisu, sementara kabut membungkus ruang sempitnya dengan ketidakpedulian yang dingin.

Pandangan Zhou Ming beralih ke ambang jendela, tempat kunci inggris dan palu tergeletak begitu saja—alat-alat yang dulu ia gunakan dalam usaha sia-sia untuk melawan keadaan, kini hanya menjadi saksi bisu atas keterasingannya yang tak kunjung berakhir.

Menghela napas panjang, Zhou Ming kembali menundukkan kepala, fokus pada jurnalnya. Pena di tangannya menggores kertas dengan tekad yang suram, seolah hendak mengabadikan keberadaannya dalam sejarahnya sendiri.

"Aku terjebak. Aku telah mencoba segalanya—membongkar atap, merobohkan dinding, bahkan mengupas lantai—tetapi semuanya sia-sia. Aku tetap terkunci dalam kotak yang tak bisa ditembus, kamar ini telah menjadi penjara dengan kunci yang entah hilang ke mana… kecuali satu pintu itu."

"Dan misteri yang bersembunyi di balik pintu itu… adalah teka-teki yang diselimuti kegelapan."

Keheningan semakin pekat saat Zhou Ming menatap kata-kata yang baru saja ia tuliskan. Dengan kosong, ia membalik halaman-halaman sebelumnya, membaca ulang catatan yang penuh dengan keputusasaan, coretan tak berarti, sketsa yang digoreskan dengan frustrasi, dan lelucon yang kini terasa hampa.

Ia mulai bertanya-tanya—untuk apa semua ini? Apa gunanya menuliskan pengalaman yang membingungkan ini? Siapa yang akan membaca semua ini jika ia tak pernah keluar dari sini?

Zhou Ming bukan tipe orang yang gemar menulis jurnal. Sebagai guru sekolah menengah yang sibuk, ia jarang memiliki waktu untuk meluangkan pikirannya ke dalam kata-kata. Namun sekarang, waktu adalah satu-satunya hal yang ia miliki—waktu yang dahulu berharga, kini berubah menjadi kutukan yang menyiksa.

Pagi yang mengerikan, saat ia terbangun dan mendapati dirinya terperangkap di dalam apartemennya sendiri, terasa seperti kejadian dari kehidupan yang lain. Namun, kabut pekat di luar jendelanya tetap menjadi pengingat nyata bahwa ini bukan mimpi buruk yang bisa diakhiri dengan bangun tidur. Seakan-akan dunia telah berhenti, membeku dalam senja yang abadi. Kamar ini tak mengenal pagi ataupun malam. Jendelanya kini hanya dinding buram, air dan listriknya lenyap tanpa jejak, ponselnya tak lebih dari benda mati, dan teriakannya untuk meminta bantuan sekadar diserap oleh kabut yang tanpa belas kasihan.

Rasanya seperti mimpi buruk yang tak berkesudahan—bedanya, Zhou Ming tahu bahwa ini bukan sekadar ilusi. Ia sadar sepenuhnya bahwa ia adalah tawanan dunia yang telah terdistorsi, sebuah realitas yang menolak untuk masuk akal.

Dengan helaan napas berat, matanya akhirnya tertuju pada satu-satunya pintu di ruangan itu.

Pintu biasa, putih polos, dengan kalender usang yang tak pernah ia ganti. Gagangnya berkilau karena sering digunakan, sementara keset di bawahnya sedikit bergeser—tanda bahwa tak ada jejak baru di sana selama beberapa hari terakhir.

Pintu itu bisa dibuka… dan mungkin itulah bagian paling menyiksa darinya.

Pintu itu seperti jebakan yang kejam, memberikan ilusi kebebasan, membisikkan janji palsu tentang pelarian. Namun Zhou Ming tahu, dunia di baliknya bukanlah dunia yang ia kenal. Tak ada lorong apartemen, tak ada jalanan sibuk yang diterangi cahaya matahari, tak ada kehidupan yang biasa ia jalani.

Yang menantinya di luar sana… adalah sesuatu yang asing.

Pada titik ini, merenung hanyalah pemborosan waktu. Pilihan adalah ilusi, sama seperti pintu itu sendiri. Persediaannya terus menipis—air botolnya hanya tersisa seperempat. Semua jalan keluar telah ia coba, semuanya menemui jalan buntu. Satu-satunya harapannya kini terletak di balik pintu itu.

Mengumpulkan keberanian yang tersisa, Zhou Ming tahu bahwa ia tidak punya pilihan lain. Ia harus melangkah ke sana—menembus ketidakpastian yang mengerikan, satu-satunya jalan yang tersisa baginya.

Mungkin, dalam keanehan yang menantinya, ia akan menemukan jawaban—meski samar—atas misteri supranatural yang membelenggunya.

Dengan tarikan napas yang dalam, seolah bersiap menghadapi vonis terakhir, Zhou Ming menuliskan satu entri terakhir di jurnalnya.

"Satu-satunya pilihan yang tersisa bagiku adalah melangkah melewati pintu ini. Aku telah mengumpulkan apa pun yang bisa kujangkau dari sisi lain; persiapanku, sesederhana apa pun, harus cukup untuk bertahan."

"Bagi siapa pun yang menemukan jurnal ini—jika aku tidak kembali dan seseorang, entah tim penyelamat atau

orang asing yang kebetulan menemukannya, menjumpai ruangan tertutup ini—ketahuilah bahwa ini bukan sekadar cerita rekaan. Semua yang terjadi di sini benar-benar menimpa seorang pria bernama Zhou Ming, yang terjebak dalam anomali ruang-waktu yang tak terjelaskan."

"Aku telah mencatat semua keanehan yang terjadi, setiap usaha pelarian yang gagal. Jika seseorang membaca ini suatu hari nanti, tolong, ingat namaku dan bersaksilah bahwa apa yang kualami ini bukanlah delusi belaka."

Menutup jurnalnya dengan rasa pasrah, Zhou Ming bangkit perlahan.

Kemudian, ia melangkah menuju cermin di sudut ruangan. Ia menatap pantulan dirinya—seorang pria dengan wajah biasa, tetapi ia mengamati dirinya seakan ingin mengingat setiap detail terakhir tentang dirinya sendiri.

Dan dengan suara lirih, ia berbisik ke pantulan itu:

"Kau adalah Zhou Ming. Apa pun yang terjadi di luar sana… jangan lupakan itu."

Lalu, dengan napas tertahan, ia membuka pintu dan melangkah ke dalam kabut.